Refleksi Bank Syariah : Impian dan Harapan (Bagian 2)

Bank Syariah, Pemerintah, BI & DPR ; Peluang & Kendala

Dalam upaya pengembangan perbankan syariah, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia (BI) telah melakukan berbagai langkah nyata. Empat hal diantaranya ; Pertama, membentuk Komite Pengarah, Komite Ahli, dan Komite Kerja Pengembangan Perbankan Syariah. Kedua, melakukan inventarisasi perangkat ketentuan yang ada, serta menyusun ketentuan yang lebih lengkap dan dibutuhkan. Setidaknya, hingga akhir 2004 telah ada 17 regulasi tentang perbankan syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia . Ketiga, membantu pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan SDM, melalui pelatihan, workshop, dan seminar-seminar. Serta Keempat, melaksanakan kegiatan sosialisasi perbankan syariah, diantaranya dengan penyusunan buku panduan dan sillaturrahmi dengan para ulama, bankir, dan usahawan muslim di daerah-daerah .

Bentuk perhatian BI terhadap perbankan syariah dari waktu ke waktu juga terus meningkat, jika dulu urusan perbankan syariah hanya ditangani oleh sebuah tim, maka kini telah ada sebuah Direktorat khusus yang mengurusi masalah tersebut . Meskipun demikian, masih ada beberapa kebijakan BI terhadap perbankan syariah yang dianggap sebagai sebuah bentuk kesenjangan dalam perlakuan. Misalnya yang terkini, usulan dari kalangan perbankan syariah agar di Bank Indonesia (BI) memiliki deputi khusus syariah, masih dianggap belum perlu oleh Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Hal lainnya, berkaitan dengan rencana konsolidasi dan penguatan industri perbankan di Indonesia, yang tampaknya belum mencakup perbankan syariah. Isu merger dan akuisi baru menyentuh bank BUMN dan bank swasta. Kemudian, masalah regulasi BI yang dianggap sebagian kalangan praktisi ‘menganaktirikan’ perbankan syariah dalam usaha pengembangan jaringannya.

Sebenarnya, sebagian masalah-masalah tersebut bisa dimaklumi, mengingat perbankan syariah jika diukur dengan skala industri perbankan nasional memang masih teramat kecil. Namun sebaliknya, pemerintah juga perlu belajar dari sejarah krisis ekonomi 1998, dimana pemerintah melalui BLBI ( Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) – yang pada akhirnya adalah uang rakyat – mengucurkan setidaknya Rp 300 trilyun (versi pemerintah) atau Rp 500-600 trilyun (versi pengamat) untuk menutupi kebutuhan likuiditas bank-bank konvensional. Pelajaran terbaru di akhir tahun 2004, pemerintah harus mengeluarkan setidaknya 300 miliar dalam kasus beku operasi Bank Global pada 13 Desember 2004, mengingat aset bank tersebut hanya Rp 745 miliar, sementara dana penjaminan nasabah mencapai hampir Rp 1 trilyun . Dengan semua pelajaran ini, apakah belum saatnya bagi pemerintah untuk lebih intensif mengembangkan perbankan syariah melalui semua aspeknya dibanding bank konvensional ?

Selain Bank Indonesia (BI), unsur pemerintah yang lainnya, seperti jajaran kabinet, juga mulai terlihat melirik potensi industri perbankan syariah. Meski saat ini memang baru tercatat tiga mentri, masing-masing : Meneg BUMN Sugiharto, Mentri Pertanian Anton Apriyanto, dan Menpera Yusuf Asyari yang dengan tegas menyatakan siap bermitra dengan perbankan syariah dalam menjalankan proyek-proyeknya. Langkah riil yang cukup menggembirakan adalah ditempatkannya praktisi ekonomi syariah, Iwan Pontjowinoto sebagai direktur utama PT. Jamsostek, meski sebelumnya sempat ditentang oleh kalangan serikat pekerja . Peluang rintisan yang telah terbuka ini, semestinya bisa terus dikembangkan pada departemen-departemen lainnya untuk bermitra dengan industri perbankan syariah. Di negara lain, pembangunan infrastruktur semacam bandara, jalan, dan bangunan-bangunan pemerintah yang melibatkan bank syariah, bukan hal yang baru .Bahkan di negri jiran kita, Malaysia, setiap proyek pembangunan dijatahkan 30 persen investasinya dibiayai dengan pola syariah .

Hal lain yang ditunggu-tunggu kalangan perbankan syariah dari pemerintah saat ini, antara lain : Pertama, pemerintah mempunyai bank syariah sendiri, dengan mengkonversi bank BUMN menjadi syariah , dan kedua, pemerintah berani dan tidak ragu-ragu lagi dalam menerbitkan obligasi negara dengan prinsip syariah . Adapun dari kalangan DPR, khususnya mereka yang terlibat dalam Komisi XI, kalangan praktisi perbankan syariah sedang menunggu-nunggu pembahasan dan pengesahan RUU Perbankan Syariah yang terpisah dari perbankan konvensional. Komisi XI DPR sendiri menegaskan, kehadiran UU Perbankan Syariah sudah mendesak sebab pertumbuhan industri ini cukup tinggi. Namun permasalahan apakah undang-undang tersebut akan dibahas terpisah atau disisipkan dalam revisi UU Perbankan, nampaknya masih belum terjawab.

0 Response to "Refleksi Bank Syariah : Impian dan Harapan (Bagian 2)"

Posting Komentar