Refleksi Bank Syariah : Impian & Harapan (Bagian 1)

Pendahuluan : Kuncup yang mulai merekah

Ibaratnya bunga, industri perbankan syariah di Indonesia adalah kuncup yang mulai merekah. Hampir semua mata melirik, mengamati perkembangannya dari waktu ke waktu. Berbagai seminar, kajian, dan diskusi diadakan untuk memperdalam sekaligus mensosialisasikan kajian perbankan syariah. Tidak hanya dari kalangan praktisi, ulama, dan akademisi, bahkan jurnalis media pun seolah berlomba untuk menampilkan berita-berita perkembangan terkini pada sektor tersebut.

Pembukaan kantor cabang baru, launching produk-produk baru, pengesahan fatwa terkini dari Dewan Syariah Nasional (DSN), hingga tulisan-tulisan otokritik dari kalangan intern praktisi, mendapatkan porsi penyajian yang signifikan di beberapa media . Belum lagi paparan tentang sukses dan prospektifnya industri perbankan syariah, hingga ada yang menyebutnya over exposed, terlalu sering diulang-ulang dan kurang kreatif dalam mengomunikasikan perbankan syariah.

Apapun kata orang, sebagai sebuah kuncup, perbankan syariah memang masih membutuhkan rentang waktu yang cukup lama untuk merekah. Merekah dalam arti, membuktikan keunggulan sistem bagi hasil ( profit and loss sharing ) bank syariah atas sistem bunga ribawi bank konvensional. Tulisan ini diharapkan dapat memberi gambaran, akan banyaknya peluang sekaligus hambatan, serta hal-hal yang perlu dibenahi, untuk mencapai masa keemasan perbankan syariah di negri kita tercinta.

Sejarah dan Perkembangan

Jika dibandingkan dengan munculnya upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing di Pakistan pada akhir tahun 50-an dan Malaysia pada pertengahan 40-an , ditambah lagi jika dibandingkan dengan keberadaan bank konvensional di tanah air yang sudah berusia puluhan tahun, maka 13 tahun usia perbankan syariah di Indonesia benar-benar masih belia. Terlebih lagi, pada enam tahun pertama sejak beroperasinya pada 1 Mei 1992, hanya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang menjadi single fighter dalam kancah industri perbankan syariah di Indonesia. Sementara UU No 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang berlaku pada waktu itu, juga tidak sepenuhnya menyebutkan tentang sistem bagi hasil, tetapi hanya memungkinkan bank umum untuk menjalankan operasional bisnis dengan sistem tersebut.

Fase perkembangan perbankan syariah selanjutnya justru dimulai paska krisis ekonomi tahun 1997/1998. Bergugurannya bank-bank konvensional ribawi, yang disebabkan oleh momok menakutkan negative spread membuat banyak kalangan mulai melirik sistem bagi hasil. Sejarah kelam perbankan konvensional di negri ini waktu itu mencatat setidaknya 63 bank telah ditutup, 14 bank di-take over, dan 9 bank lagi harus direkapitalisasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah. Mungkin ini adalah sebagian dari bukti isyarat Al-Quran yang menyatakan secara implisit -dengan ilustrasi- bahwa sistem riba hanyalah akan menghasilkan sebuah kondisi perekonomian yang gonjang-ganjing, alias tidak stabil (QS 2 : 275 ) .

Terhitung sejak diberlakukannya UU No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang mengatur adanya Dual Banking system, (konvensional dan syariah) maka dimulailah masa booming pertumbuhan perbankan syariah. Jika pada pertengahan tahun 1999, hanya ada 1 (satu) bank umum syariah dan 78 BPRS, maka pada awal 2005 telah mencapai sejumlah 3 bank umum syariah, 16 Unit Usaha Syariah Bank Konvensional, 355 KC/KCP, serta 88 BPRS, dengan jumlah total jaringan mencapai 443 kantor . Selain itu, pertumbuhan aset perbankan syariah meningkat pesat dari sekitar Rp 800 miliar pada akhir tahun 1999 menjadi sebesar Rp 14 trilyun pada akhir tahun 2004, dengan pertumbuhan rata-rata 70 % pertahun .

Bagaimanapun, meningkatnya angka-angka indikator perbankan syariah dari tahun ke tahun yang menandakan periode fast growing, adalah sebuah prestasi tersendiri. Meskipun, jika kita konversikan ke skala nasional saat ini, maka peran perbankan syariah dalam industri perbankan nasional bisa dibilang ‘nyaris tak terdengar’. Mengapa ? Karena dengan total aset industri perbankan nasional saat ini yang mencapai Rp 1000 trilyun lebih, berarti industri perbankan syariah hanya ‘mewarnai’ sekitar 1,1 % nya saja.

Kecilnya angka partisipasi perbankan syariah dalam industri perbankan nasional, sungguh bisa dimaklumi. Faktor yang paling utama tentu saja adalah usia yang prematur, sehingga penyebaran jaringan perbankan syariah juga cukup terbatas, jika dibanding dengan jaringan bank konvensional yang telah mencapai 160 bank umum, 2000 lebih BPR, dan ditunjang dengan puluhan ribu kantor yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Sungguhpun demikian, para praktisi perbankan syariah masih bisa cukup optimis. Tercatat angka pertumbuhan yang meningkat dari tahun ke tahun. Sebut saja dari volume usaha perbankan syariah yang tumbuh mencapai 68,6 %, sedangkan perbankan nasional rata-rata mencapai 4,74 %. Dari sisi pertumbuhan kredit perbankan nasional hanya sebesar 18,6 %, sementara pertumbuhan pembiayaan (financing) perbankan syariah justru mencapai 72,11 %. Begitupula yang terjadi pada pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK), perbankan syariah mencatat angka 79,31 %, sementara perbankan nasional ‘hanya’ 6,77 % . Prestasi yang lain, perbankan syariah juga telah menjalankan fungsi intermediasi dengan baik, terbukti dengan munculnya angka rasio pembiayaan dan dan pihak ketiga ( financing to deposit ratio /FDR ) yang mencapai 104 % dengan rata-rata lebih dari 90 % dalam tiga tahun terakhir.

Realita kondisi perbankan syariah yang prospektif bukan berarti tanpa kendala. Justru sebaliknya, sekian waktu beroperasi telah banyak membuktikan beberapa permasalahan dan kendala yang melingkupi kinerja perbankan syariah. Tahun 2006 ini diharapkan akan menjadi fase baru bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Apalagi setelah terbitnya Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank (akhir 2004), kemudian juga rencana pengesahan UU Perbankan Syariah oleh DPR pada tahun ini, maka bisa dipastikan, hari-hari mendatang dunia perbankan syariah di Indonesia akan semakin dipenuhi oleh impian-impian yang produktif dan menjanjikan.


Bersambung

0 Response to "Refleksi Bank Syariah : Impian & Harapan (Bagian 1)"

Posting Komentar