Refleksi Bank Syariah : Impian dan Harapan (Bagian 5)

Beberapa Permasalahan Lain

Selain permasalahan SDI internal di atas, di akhir tulisan ini penulis ingin menyoroti keberadaan dua fenomena unik yang sesungguhnya bisa disebut peluang bagi pengembangan perbankan syariah, namun pada saat yang sama juga bisa menjadi hambatan.

Fenomena unik yang pertama adalah ; mulai maraknya bank-bank asing konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia. Tercatat Hongkong Shanghai Banking Corporations (HSBC) berpusat di London, adalah pemain asing pertama yang membuka UUS di Indonesia pada Oktober 2003 . Langkah HSBC ini kemudian siap diikuti oleh Citibank dan Standard Chartered yang sudah mendatangi BI sebagai langkah permulaan . Sebenarnya ini bukan hal yang baru, di luar sana raksasa-raksasa perbankan barat telah lama menggarap pasar syariah . Total aset perbankan syariah dunia yang mencapai kisaran 200-500 milliar dolar AS, ditambah dengan angka pertumbuhan sekitar 10-15% per tahun cukup membuat mereka tertarik untuk ikut terjun langsung dalam bisnis ini.

Banyak pakar perbankan syariah melihat kehadiran bank asing dalam perbankan syariah bukan sebagai masalah, namun justru menguntungkan perbankan syariah di Indonesia. Tak pelak pakar dan pengamat ekonomi syariah, M. Syafii Antonio, menyatakan bahwa kehadiran bank asing dalam pasaran syariah bukan sebuah ancaman, serta tidak akan mempengaruhi perkembangan bank syariah lokal . Pengamat yang lain seperti Direktur Karim Bussines Consulting (KBC), Adiwarman Karim dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Arief Mufti juga sepakat bahwa masuknya bank asing akan ikut mendorong pertumbuhan sektor riil sebagaimana telah berlangsung pada pola pembiayaan syariah .

Lalu mengapa unik ? Benar, bahwa dalam aturan fiqh muamalah memang tidak ada larangan bagi kalangan asing –yang notabene non muslim- untuk menjadi nasabah, pemilik saham atau bahkan pengelola bank syariah .Akan tetapi, dalam hal masuknya bank asing dalam industri perbankan syariah nasional, ada dua harga psikologis bertentangan yang harus sama-sama dibayar.

Pada satu sisi hal itu dapat mendukung sosialisasi dan image perbankan syariah, sekaligus membuktikan bahwa sistem keuangan islam (islamic financial system) adalah produk yang layak jual dan mempunyai benefit. Namun pada sisi yang lain, adalah sebuah ironi ditengah bangkitnya perbankan syariah di indonesia, setelah melalui kerja keras pengembangan dan sosialisasi para perintisnya bertahun-tahun, tiba-tiba saja muncul pemain-pemain asing untuk ikut memanen ‘benih yang mulai tumbuh’itu. Pemain asing yang benar-benar profit oriented, tanpa ada unsur ideologis untuk melaksanakan sistem islam, sebagai manifesto ketundukan pada aturan-aturan Allah di muka bumi ini. Lalu apa yang terjadi jika kemudian pemain asing tersebut yang didukung dengan modal yang kuat serta jaringan yang luas, tampil menjadi pemenang ? Menyingkirkan bank-bank syariah lokal yang masih terseok-seok dengan kendala SDI internal yang lemah ?. Sungguh ini bukan wacana inferior, akan tetapi sebuah isyarat awal bahwa ‘peperangan’ sesungguhnya antara bank asing dengan bank syariah lokal, adalah dalam kompetisi menarik dana Rp 720 trilyun dari pasar mengambang (floating market), bukan pasaran loyalis syariah ! Memang tidak berlebihan saat Kelvin Miranda, fund Manager dari Asian Asset Management di Kualalumpur, menyatakan “Semua pemain dari industri perbankan, pasti menginginkan sepotong kue yang manis dari populasi muslim terbesar di dunia ini ”!

Kemudian fenomena kedua yang tidak kalah unik adalah ; dominasi pembiayaan murobahah (deffered payment sale) dalam perbankan syariah atas pembiayaan (financing) lainnya. Laporan perkembangan Perbankan Syariah tahun 2004 yang dikeluarkan BI menunjukkan portfolio pembiayaan murobahah mencapai sekitar 66,3 %. Sementara pada saat yang sama, pembiayaan mudharabah dan musyarokah hanya berkisar pada angka 17,4 % . Kondisi seperti ini sebenarnya bukan hanya ada di Indonesia saja, bahkan bank-bank Islam papan atas dunia, seperti Bahrain Islamic Bank, Faisal Islamic Bank, Dubai Islamic Bank, Bank Islam Malaysia, dan Kuwait Finance House, juga memiliki kecenderungan menjadikan skema murobahah sebagai skema pembiayaan yang utama .

Popularitas murobahah yang menjadi pembiayaan utama bank syariah saat ini disebabkan banyak hal antara lain ; Pertama, dari sisi bank syariah ; investasi jangka pendek yang cukup memudahkan, benefit yang berasal dari mark up bisa ditentukan dan dipastikan ; serta menjauhi ketidakpastian dan minimalisasi resiko yang ada pada sistem bagi hasil. Kedua, dari sisi nasabah ; murabahah tidak memungkinkan bank-bank syari’ah untuk mencampuri manajemen bisnis. Lain ceritanya dengan pembiayaan mudharabah (Trust financing) yang terkadang pihak bank memaksakan untuk menempatkan satu wakilnya pada jajaran manajemen perusahaan, untuk melakukan pengawasan internal.

Tak pelak, dominasi murobahah ini menuai kritikan yang cukup signifikan dari para pengamat perbankan syariah. Sisi yang pertama menuai kritik adalah ; dominasi murobahah itu sendiri , yang dikatakan menjauhi esensi ruh perbankan syariah, karena sistem bagi hasil (dalam musyarokah dan mudhoroba), merupakan keunggulan sekaligus pembeda antara bank syariah dengan bank konvensional . Efek lanjutannya, dengan minimnya pembiayaan mudhorobah dan musyarokah, dapat mengakibatkan pengembangan sektor riil juga terhambat . Sisi yang kedua yang dikritisi adalah ; penentuan margin murobahah dengan menggunakan benchmark perbankan konvensional, bahkan kadang di atasnya, yang dinilai bisa merusak reputasi perbankan syariah . Sehingga kalangan awam ada yang menilai bahwa bank syari’ah mengambil keuntungan lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional .

Sebenarnya, kalangan praktisi juga tidak salah ketika menjalankan prinsip kehati-hatian dalam mengeluarkan pembiayaan mudhorobah yang cukup beresiko, karena dana adalah amanat dari investor. Sementara pada saat yang sama, para nasabah yang telah sukses juga tidak salah jika lebih memilih akad murabahah, karena dipandang lebih efisien dan tidak mengikat.

Penutup : Impian hari ini, kenyataan esok hari

Betatapun rumitnya permasalahan dan kendala yang dihadapi, kalangan praktisi perbankan syariah tetap optimis dengan masa depan industri perbankan syariah di negri ini. Bahkan BI memproyeksikan pada tahun 2011 aset perbankan syariah diperkirakan mencapai 171,35 Trilyun ( 9,10 % dari total industri perbankan nasional). Sementara Presdir Kareem Bussines Consulting ( KBC) Adiwarman Karim, berani memproyeksikan lebih dari itu. Ia memperkirakan aset perbankan syariah di Indonesia pada 2011 akan berada ada kisaran 300-360 trilyun ( 16,7 % dari pangsa pasar indutri perbankan nasional) . Pada saat itulah, diperkirakan peran industri perbankan syariah dalam menata perekonomian nasional, akan terasa lebih signifikan.

Akhirnya, genderang jihad perbankan Islam di negri ini telah ditabuh. Target dan proyeksi telah ditentukan. Peluang dan tantangan sama-sama telah disadari. Tidak ada hari-hari setelah ini kecuali harus dipenuhi optimalisasi usaha dan pembenahan aspek internal-eksternal. Meminjam istilah Imam Hasan Al-Bana ; Impian hari ini, harus menjadi kenyataan di esok hari. Sehingga, pada saat pertolongan Allah telah terlihat, maka tidak ada lagi selain tasbih dan istighfar.( QS 110 :3 ). Wallahu a’lam bisshowab.

Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.

0 Response to "Refleksi Bank Syariah : Impian dan Harapan (Bagian 5)"

Posting Komentar